“Konflik kewenangan antara KPK dan Kepolisian Republik Indonesia”

-          Sekilas tentang KPK
KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi adalah salah satu lembaga negara yang bertugas sebagai badan penyelidik dan penyidik selain Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia. KPK adalah suatu Komisi organik, yaitu Komisi yang lahir dari Undang-Undang. Undang-Undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini sendiri merupakan lanjutan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dalam pasal itu dinyatakan bahwa pembuat Undang-Undang merasa perlu untuk membuat suatu komisi khusus yang bertugas untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Berdasarkan dua Undang-Undang diatas, maka pada tahun 2003 digagaslah pembentukan suatu Komisi khusus yang bertugas untuk menanggulangi, mengatasi dan memberantas korupsi, khususnya di Indonesia.
Apabila kita mau menelisik sejarah lebih dalam lagi, maka kita akan menemukan fakta bahwa KPK bukanlah lembaga pemberantasan anti korupsi pertama yang ada di Indonesia. Sejarah panjang lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi sendiri telah digagas jauh sebelum terbenuknya KPK sekarang. Jika kita lihat dari sejarahnya, maka konsep suatu lembaga atau badan khusus yang menangani pemberantasan tindak pidana korupsi telah digagas sejak zaman Orde Lama. Bahkan di masa awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia, masalah penanggulangan tindak pidana korupsi dan usaha-usaha menciptakan pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme sudah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Adapun sejarah mengenai lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 masa, yaitu:
1.      Masa Orde Lama
Di masa Orde Lama, tercatat ada dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama adalah pada masa Kabinet Djuanda, yang mana melalui Undang-Undang Keadaan Bahaya dibentuklah suatu panitia yang disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang saat itu dipimpin oleh A.H Nasution dan dibantu oleh 2 anggota, yaitu Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Panitia inilah para aparatur negara harus menyerahkan laporan atas pertanyaan-pertanyaan dalam form yang diberikan oleh panitia. Tapi seiring berjalannya waktu, panitia ini tidak dapat bertahan lama karena adanya deadlock. Hal ini terutama diakibatkan keengganan para aparatur negara untuk memberikan laporan pertanggungjawaban kepada PARAN dengan alasan bahwa mereka hanya bertanggungjawab langsung kepada Presiden.
Setelah dibubarkannya PARAN, maka pada tahun 1963 Presiden Soekarno menunjuk kembali A.H Nasution dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo untuk membentuk suatu operasi pemberantasan tindak pidana korupsi baru yang dinamakan Operasi Budhi. Adapun tugas dari operasi ini adalah lebih berat daripada PARAN, dimana Operasi Budhi wajib menyeret langsung aparatur negara yang terindikasi korupsi langsung ke muka Pengadilan. Adapun sasaran utama dari Operasi ini adalah BUMN dan lembaga pemerintahan sendiri. Tetapi kemudian, Operasi ini kembali tidak berjalan lama dikarenakan adanya intrik-intrik politik yang cenderung melindungi koruptor. Kemudian, Soebandrio mengumumkan langsung dibubarkannya Operasi Budhi dan diganti oleh KONTRAR  (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno dan dibantu oleh Soebandrio dan Let.Jend. Ahmad Yani. Pada masa berikutnya, banyak kalangan yang menilai bahwa seiring terbentuknya lembaga anti korupsi tersebut, maka proses pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia cenderung melambat, bahkan terkesan stagnan atau jalan di tempat.

2.      Masa Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto terang-terang mengkritik Orde Lama atas ketidakmampuannya untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Pidato itu semakin membesarkan harapan akan terberantasnya tindak pidana korupsi di Indonesia seiring dengan gagasan dibentuknya suatu Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai langsung oleh Jaksa Agung. Namun ketidak seriusan Tim ini mengakibatkan Presiden Soeharto kemudian membubarkannya dan membentuk Komite Empat yang beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof. Johanes, I.J Kasimo, Mr. Wilopo, dan A. Tjokroaminoto. Adapun sasaran utama dari komite ini adalah membersihkan lembaga pemerintah seperti Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina dan lain-lain. Tetapi kemudian komite ini pun membentur tembok yang keras, yaitu keengganan pemerintah untuk merespon temuan-temuan yang mengarah pada indikasi korupsi. Terutama pada kasus temuan indikasi korupsi yang dilakukan oleh Dirut Pertamina. Akibat dari benturan-benturan itu, seiring berjalannya waktu komisi ini pun menghilang dari peredaran dan semakin berjayalah koruptor yang ada di Indonesia di masa Orde Baru.
3.      Masa Era Reformasi
Pada Era Reformasi, usaha pemberantasan tindak pidana korupsi dimulai oleh Presiden B.J Habibie dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sebagai lanjutannya, dibentuklah komisi-komisi baru dan badan-badan baru seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, yaitu Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Tetapi kemudian TGPTPK dibubarkan melalui putusan Mahkamah Agung yang menganggap TGPTPK adalah bertentangan dengan Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999. KPKPN dalam pekembangan berikutnya dilebur dan dimasukkan ke dalam lembaga baru yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai satu-satunya lembaga pemberantasan anti Korupsi yang masih eksis dan diakui oleh Undang-Undang.
Adapun sebelumnya telah dijelaskan bahwa KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang  Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya, Undang-Undang tersebut adalah menjadi dasar hukum yang menjamin sahnya lembaga tersebut dan memuat tugas serta tanggung jawab dari KPK. Jika kita dapat melihat sedikit mengenai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, kita dapat menemukan pasal-pasal yang memuat jelas mengenai KPK, wewenang dan tanggung jawab serta fungsinya. Dalam pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, dikatakan bahwa KPK adalah lembaga negara yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun yang bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam penjelasan Pasal 3 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota Komisi secara individual baik dari pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi atau situasi apapun dengan alasan apapun.
            Lalu, apa pengertian dari Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi itu sendiri? Pasal 1 ayat (3) mengatakan bahwa Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya kordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Adapun Tugas dari KPK adalah terdapat 5 tugas seperti dijelaskan dalam pasal 6 Undang-Undang, yaitu:
a.       Koordinasi dengan instansi yang berwenang dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan “instansi berwenang” adalah BPK, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, KPKPN, inspektorat pada Departemen, atau Lembaga Pemerintah Non Departemen.
b.      Supervisi terhadap terhadap instansi yang berwenang dalam pemberantasan tindak pidana  korupsi.
c.       Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
d.      Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi
e.       Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Poin berikutnya adalah mengenai wewenang dari KPK itu sendiri. Dalam perkembangannya, sering sekali terjadi benturan wewenang antara KPK dan lembaga penyidik lainnya seperti Kejaksaan dan Kepolisian. Adapun wewenang KPK adalah tercantum dalam pasal 7, 8, 11, 12, 13, dan pasal 14 Undang-Undang 30/2002. Secara ringkas dan jelasnya, wewenang dari KPK adalah:
a.       Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b.      Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.       Meminta informasi terkait kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
d.      Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
e.       Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi;
f.       Melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan  pelayanan publik.
g.      KPK juga berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan.
h.      Berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :
·         Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
·         Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/ atau
·         Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah);
i.        Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
j.        Memerintahkan kepada insatansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
k.      Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
l.        Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
m.    Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
n.      Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;
o.      Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perijinan, lisensi serta konsesi yang dialkukan atau dimiliki oleh tersangka;
p.      Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
q.      Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yangs edang ditangani;
r.        Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;
s.       Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
t.        Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan;
u.      Merancang dan mendorong  terlaksananya program sosialaisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;
v.      Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum
w.    Melakukan kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberanatasan tindak pidana korupsi;
x.      Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah;
y.      Memberikan saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi itu berpotensi korupsi;
z.       Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, DPR-RI, dan BPK, jika saran KPK mengenai usulan perubahan sistem administrasi itu tidak dihiraukan;



-          Sekilas tentang Kepolisian Republik Indonesia
Kepolisian Republik Indonesia adalah salah satu lembaga negara yang berhak untuk melakukan penyelidikian dan penyidikan perkara pidana, baik yang terdapat dalam KUHP dan KUHAP, serta peraturan perundang-undangan khusus lainnya. Konkritnya, terdapat 3 lembaga di republik ini yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, yaitu Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Dari ketiga lembaga penegak hukum di atas, hanya POLRI yang menurut undang-undang tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan. Adapun Kejaksaan memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan berdasarkan pasal 13 KUHAP, sedangkan KPK berhak melakukan penuntutan di bidang tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Jika kita menelisik sejarahnya, POLRI adalah lembaga paling tua dibanding 3 lembaga hukum lainnya. POLRI telah dibentuk sejak 65 tahun silam, meskipun pada awal pembentukannya hingga tahun 2000 POLRI bukanlah suatu unit yang berjalan sendiri melainkan merupakan bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesi (ABRI). Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, POLRI merupakan suatu kesatuan yang dianggap sebagai angkatan ke 4 setelah Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut di dalam tubuh ABRI. Sepanjang 65 tahun masa baktinya terhadap Republik Indonesia, POLRI telah berperan serta cukup banyak dalam upaya-upaya penegakan hukum dan penyelesaian-penyelesaian perkara pidana di dalam negeri dan telah turut serta pula dalam upaya-upaya penegakan hukum Internasional.
Adapun dasar hukum yang menjadi pegangan untuk meunjukkan bahwa POLRI adalah lembaga negara yang sah adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Adapun dalam undang-undang tersebut terkandung Fungsi, serta tugas dan wewenang dar POLRI itu sendiri.
Mengenai fungsi dari POLRI, terkandung dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Pasal itu berbunyi bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan ketertiban dan kemanan masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyrakat.Kemudian pasal 14 menjabarkan fungsi kepolisian itu menjadi beberapa butir, yaitu:
a.       Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b.      Menyelenggarakan segala kegiatan demi menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c.       Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan masyarakat terhadap hukum dan peraturat perundang-undangan;
d.      Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e.       Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f.       Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g.      Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesiau dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h.      Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i.        Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j.        Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k.      Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuia dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l.        Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Adapun hal-hal mengenai wewenang dari POLRI adalah dijabarkan dalam pasal 15-16 UU No. 2 Tahun 2002. Menyangkut tugas POLRI, maka POLRI memiliki wewenang untuk :
a.       Menerima laporan dan/atau pengaduan;
b.      Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
c.       Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d.      Mangawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e.       Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
f.       Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
g.      Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h.      Mengambil sidik jari serta informasi lainnya dan memotret seseorang;
i.        Mencari keterangan dan barang bukti;
j.        Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k.      Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keternagan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l.        Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan  putusan pengadilan, kegiatan insatansi lain, dan kegiatan masyarakat;
m.    Menerima dan menyimpuan barang temuan untuk sementara waktu;
n.      Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;
o.      Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
p.      Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
q.      Menrima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
r.        Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam;
s.       Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;
t.        Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
u.      Melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
v.      Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
w.    Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian Internasional;
x.      Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian;
y.      Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
z.       Melerang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyelidikan;
aa.   Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
bb.  Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
cc.   Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
dd. Memanggil orang untuk didengar atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
ee.   Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
ff.    Mengadakan penghentian penyidikan;
gg.  Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
hh.  Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
ii.      Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan pada penuntut umum; dan
jj.      Melakukan tindakan lain yang menurut hukum bertanggung jawab.

-          Konflik kewenangan antara KPK dan POLRI
Di atas telah dijelaskan bahwa KPK dan POLRI adalah dua lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara tindak pidana. Jika kita perhatikan lagi poin per poin yang menjadi kewenangan KPK dan POLRI, maka kita akan menemukan banyak sekali terjadi kesamaan wewenang antara kedua institusi penegak hukum tersebut. Kedua instansi sama-sama berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, serta sama-sama berwenang melakukan pemeriksaan terhadap orang yang dicurigai menjadi tersangka dalam suatu kasus tindak pidana.
Berbicara mengenai KPK dan POLRI, kita tentu sering mendengar terjadinya konflik antara kedua institusi negara tersebut.  Mulai dari adanya konflik kepentingan dalam pemeriksaan mantan Ketua KPK periode 2007-2009 (Antasari Azhar), adanya usaha-usaha untuk mengkriminalitaskan KPK dalam kasus yang menyangkut 2 wakil pimpinanya (Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamza), kemudian dilanjutkan lagi dengan kasus “Cicak vs Buaya” yang didengungkan oleh Brigjend Pol. Susno Duadji pada medio 2010 seilam dalam kasus korupsi yang menyangkut Anggoro, hingga kasus terkini mengenai usaha POLRI untuk menghalang-halangi usaha KPK untuk melakukan tindakan penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menghalangi investigasi kasus Korupsi Pengadaan Simulator SIM di tubuh Korlantas Polri yang kemungkinan  besar melibatkan petinggi-petinggi POLRI.
Masih kita ingat dengan segar, pada awal September silam, ketika POLRI dengan segala kemampuan dan daya usahanya berusaha menghalangi penyelidikan yang dilakukan KPK di markasnya dengan menahan barang bukti yang diminta oleh KPK serta turut pula menahan penyidik KPK yang turut serta dalam penggeledahan di markas POLRI tersebut. Menurut informasi media, penyidik KPK tertahan hampir 24 jam di dalam markas KPK yang mengakibatkan timbulnya tanda tanya di dalam masyarakat, apa yang sebenarnya terjadi antara penyidik KPK  dan POLRI di dalam Mabes Polri saat itu? Masyarakat langsung menyadari telah terjadi konflik (lagi) di antara 2 lembaga hukum yang sebenarnya diharapkan dapat saling bersinergi untuk menegakkan hukum dan memberantas tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi di Indonesia. Berdasarkan keterangan dari Pihak POLRI kepada media, dikatakan bahwa sebenarnya POLRI tidak ingin menghalangi kinerja KPK. POLRI hanya ingin mempertanyakan kewenangan KPK dalam memeriksa Mabes POLRI dan membawa barang serta arsip milik Mabes POLRI, karena KPK tidak dapat menunjukkan surat izin dan surat kuasa untuk melakukan pemeriksaan di tubuh POLRI dari Kapolri.
Tetapi kemudian, hal ini dapat terselesaikan berkat diberikannya izin oleh Kapolri, Irjen Pol Timur Pradopo kepada KPK untuk membawa barang bukti yang ditemukan oleh KPK diikuti oleh komitmen dari KPK untuk mau bersinergi dan bekerjasama dengan POLRI dalam hal penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi di dalam lingkup adminsitratif POLRI. POLRI, dalam keterangannya berdalih bahwa mereka telah terlebih dahulu menemukan fakta bahwa ada indikasi korupsi dalam pengadaan Simulator SIM di tubuh Korlantas POLRI dan mengklaim telah terlebih dahulu melakukan penyidikan sebelum KPK. POLRI mendasarkan keterangannya pada MoU yang ditandatangani oleh Pimpinan KPK dan Kapolri. Dalam MoU itu disebutkan bahwa jika POLRI telah terlebih dahulu menangani suatu penyidikan kasus tindak pidana korupsi, maka KPK tidak boleh turut serta dan mencampuri penyidikan yang dilakukan oleh POLRI. Secara langsung, MoU ini mengkerdilkan kewenangan KPK, terutama kewenangan KPK untuk melakukan supervisi, yaitu pengawasan, pemantauan, penelitian dan penelaahan terhadap penyidikan tindak pidana korupsi yang secara langsung pula menutup kemungkinan bagi KPK untuk mengambil alih penanganan kasus Korupsi dari POLRI.
Ketika usaha untuk menghalangi KPK membawa barang bukti dianggap gagal, maka POLRI menyiapkan skenario lain dalam usaha untuk melemahkan posisi KPK, yaitu dengan menarik seluruh perwiranya yang bertugas sebagai penyidik di KPK dengan alasan sebagai usaha pembinaan karir terhadap perwira-perwiranya tersebut. Selain itu, POLRI juga berusaha menarik salah satu anggotanya yaitu KomPol. Novel Baswedan dengan alasan guna kepentingan penyelidikan dan penyidikan kasus pidana yang diduga dilakukannya ketika masih menjabat sebagai Kapolda Bengkulu pada periode 2000 silam. Dengan adanya usaha-usaha untuk melemahkan KPK ini, maka semakin keruh lah konflik antara KPK dan POLRI yang justru mengakibatkan turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap POLRI dan malah meningkatkan dukungan masyarakat terhadap KPK.
Menanggapi isu yang beredar di masyarakat dan guna mencegah semakin berkembangnya isu ke arah tidak benar dan supaya konflik antara 2 institusi pemberantas korupsi itu tidak semakin memanas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun merasa perlu untuk turun tangan dan memberikan sikap tegas terhadap konflik antara KPK dan POLRI. Dalam Pidatonya pada tanggal 8 Oktober 2012 silam, intinya presiden mengemukakan 5 hal penting yaitu:
a.       Presiden meminta penanganan kasus korupsi Simulator SIM harus diberikan kepada KPK sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Pembentukan KPK;
b.      Presiden merasa bahwa penarikan perwira POLRI sebagai penyidik di KPK adalah tidak tepat dilakukan saat ini dan menyatakan bahwa POLRI tidak berhak menarik anggotanya secara mendadak dan sepihak dari KPK;
c.       Presiden memandang bahwa penyidikan yang dilakukan POLRI terhadap Kompol Novel Baswedan adalah tidak tepat dan meminta POLRI untuk menghentikan penyidikan itu untuk sementara waktu;
d.      Adanya wacana untuk merevisi UU No. 30 Tahun 2002 adalah tidak tepat untuk saat ini.
e.       Presiden akan membentuk peraturan Pemerintah sebagai peraturan yang mengatur mengenai kewenangan KPK dan POLRI dalam rangka mengindari terjadinya konflik yang sama di kemudian hari.



Berbicara mengenai konflik kewenangan antara KPK dan POLRI, sebenarnya tidak harus terjadi dan tidak akan terjadi jika kedua instansi sama-sama berkomitmen untuk menyelamatkan negeri dan tidak mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepentingan nasional. Selain itu, telah terdapat pula 2 buah payung hukum yang berbentuk undang-undang yang dengan jelas dan gamblang memberikan kewenangan dan fungsi serta tanggung jawab dari masing-masing instansi dalam peran sertanya memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Pendapat penulis, lembaga yang seharusnya berwenang menangani kasus korupsi pengadaan Simulator SIM di tubuh Polri adalah KPK. Penulis melandaskan argumennya pada 2 alasan, yaitu:
a.       Alasan Yuridis
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 termuat jelas salah satu kewenangan KPK yaitu melakukan supervisi, yaitu usaha untuk meneliti, menelaah, mengawasi bahkan mengambil alih penanganan suatu tindak pidana korupsi dari Kepolisian dan Kejaksaan. Hal ini jelas menunjukkan bahwa KPK lebih superior dibandingkan kedua institusi lainny dan sehrusnya menjadi yang terdepan dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu, di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 juga terdapat klausula bahwa KPK adalah berhak melakukan penyidikan terhadap kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak huku, aparat negara dan pihak lain yang terkait dengan kasus korupsi yang melibatkan aparat pemerintah, serta merugikan negara minimal Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
b.      Alasan etika
Penulis memandang bahwa adalah tidak etis ketika POLRI diminta untuk menyidik perkara korupsi yang melibatkan perwira-perwiranya. Adanya jargon “jeruk makan jeruk’ dalam institusi POLRI semakin menambah skeptisme penulis terhadap kesriusan POLRI dalam menangani kasus korupsi Simulator SIM.

Related Post :