Keputusan Presiden Soekarno untuk merombak kabinetnya mula-mula ditanggapi secara positif oleh seluruh kalangan masyarakat. Masyarakat yang ketika itu sedang dilanda kegelisahan berhubung dengan demonstrasi-demonstrasi secara kontinyu yang dilancarkan oleh generasi muda khususnya, anggota-anggota parpol dan ormas nonkomunis pada umumnya mengharapkan kebijaksanaan Pemimpin Besar Revolusi sebagai tanda akan berakhirnya aksi-aksi parlemen jalanan. Tetapi kebijaksanaan Presiden inilah justru merupakan bensin yang disiramkan pada api yang sedang berkobar dimana-mana, menghanguskan kewibawaan Pemerintah.

Upacara pelantikan Menteri-menteri Kabinet Dwikora "yang disempurnakan" dilangsungkan pada tanggal 24 Februari 1966. Personalia susunan kabinet yang terdiri dari puluhan kursi menteri itu diumumkan oleh Presiden pada tanggal 22 Februari 1966.

Tidak seorang pun anggota masyarakat mampu berpikir, tidak tercengang terbengong-bengong mendengar Presiden mengumumkan susunan Kabinet 100 Menteri itu. Mau ke mana Bung Karno?

Berlawan dengan usaha menentramkan suasana, sebaliknya demonstrasi mahadashyat yang dilakukan oleh mahasiswa dan pelajar, aksi demonstrasi yang terbesar sepanjang sejarah berdirinya Republik Indonesia menentang keputusan Kepala Negaranya.

Sejak subuh dini hari tanggal 24 Februari 1966, puluhan, ya, ratusan ribu mahasiswa sudah merayap dari kampus berlari-lari di jalanan. Mereka bergerombol-gerombol menempati tiap perempatan dan simpang-simpang jalan yang strategis, menghadang lalu-lintas dan mengadakan aksi mengempesi ban mobil. lalu lintas hampir di seluruh Jakarta macet total, menyebabkan sebagian besar kegiatan baik di instansi-instansi pemerintah maupun swasta lumpuh sama sekali.

Demonstran itu laksana air bah bergelombang menuju Istana Negara tempat Menteri-Menteri baru akan dilantik. Sambil berbaris memenuhi jalanan para muda-mudi itu meneriakkan yel-yel: "Bubarkan PKI", "Bersihkan Kabinet dari menteri-menteri Gestapu dan orang-orang plinplan serta turunkan harga barang!"

Pasukan pengawal istana Kepresidenan dari Resimen Cakrabirawa yang sudah diperkuat dengan senjata siap tembak dan sangkur terhunus juga sudah berdiri berlapis-lapis menyambut kedatangan para demonstran. Orang-orang tua yang berjejal berhimpit-himpit di pinggir jalan menyaksikan putra-putrinya bergerak menuju moncong senapan benar-benar merasa ciut hatinya, lebih-lebih setelah Pasukan Pengawal Istana itu melepaskan tembakan peringatan ke udara, salvo dari ratusan senjata otomatis membuat orang penakut tegak bulu romanya.

Tembakan-tembakan yang ditujukan ke udara itu ternyata tidak menggetarkan semangat para mahasiswa, malahan di sana-sini terdengar teriakan pimpinan mereka: maju teruuuuus! Seperti diberi komando, salvo ratusan senjata otomatis itu menggelegar lagi dengan laras lebih ditundukkan sehingga peluru berdesing-desing beberapa sentimeter di atas kepala para demonstran.

Seperti dikomando mereka bertiarap merebahkan badan untuk maju lagi sehingga jarak antara para demonstran dengan Pasukan Cakrabirawa itu tinggal sedepa, berhadap-hadapan. Bebrapa mahasiswa bahkan sudah berhasil melompati pagar Istana. setelah itu para pengawal rupa-rupanya sudah tidak dapat mengendalikan diri lagi. Senjata kini diarahkan langsung kepada para mahasiswa. Enam mahasiswa terhuyung-huyung dan rebah di tanah. Jaket kuningnya basah dengan darah. Sejenak para demonstran terhenti. Orang-orang tua yang sejak tadi hanya menonton di pinggir jalan, di emper-emper toko, sudah masuk menyusup di tengah-tengah para mahasiswa. Mereka umumnya berusaha menyabarkan para demonstran agar mundur saja, tetapi tidak sedikit pula yang justru ikut mengobarkan semangat muda. Setelah diam sejenak dan mengetahui apa yang telah terjadi dan melihat darah hangat menyembur dari jaket kuning kawannya itu, semangat mereka meluap kembali. Seorang mahasiswa dengan cekatan membuka jaket seorang korban yang penuh darah itu dan lari bagaikan seorang yang sudah kalap kerasukan setan menuju tiang bendera Istana Negara yang 17 m tingginya itu. Tanpa memperhatikan resiko, ia ikat jaket berlumur darah itu di tali tiang bendera, dan dengan iringan tempik sorak puluhan ribu demonstran naiklah jaket kuning bernoda darah itu ke atas.

Hari itu gugur seorang mahasiswa yang dijuluki Pahlawan Ampera, mahasiswa tingkat IV fakultas kedokteran bernama Arief Rachman Hakim.

Tanpa pengumuman, masyarakat Ibu Kota hari itu mengibarkan bendera setengah tiang tanda simpati terhadap perjuangan mahasiswa.

(Disadur dari Buku "Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai" oleh Soegiarso Soerojo hlm. 260-261)

Related Post :