“Konflik kewenangan antara KPK dan Kepolisian
Republik Indonesia”
-
Sekilas
tentang KPK
KPK
atau Komisi Pemberantasan Korupsi adalah salah satu lembaga negara yang
bertugas sebagai badan penyelidik dan penyidik selain Kepolisian Republik
Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia. KPK adalah suatu Komisi organik,
yaitu Komisi yang lahir dari Undang-Undang. Undang-Undang yang dimaksud adalah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Undang-Undang ini sendiri merupakan lanjutan dari ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Dalam pasal itu dinyatakan bahwa pembuat Undang-Undang merasa perlu untuk
membuat suatu komisi khusus yang bertugas untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas
tindak pidana korupsi di Indonesia. Berdasarkan dua Undang-Undang diatas, maka
pada tahun 2003 digagaslah pembentukan suatu Komisi khusus yang bertugas untuk
menanggulangi, mengatasi dan memberantas korupsi, khususnya di Indonesia.
Apabila
kita mau menelisik sejarah lebih dalam lagi, maka kita akan menemukan fakta
bahwa KPK bukanlah lembaga pemberantasan anti korupsi pertama yang ada di
Indonesia. Sejarah panjang lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi sendiri
telah digagas jauh sebelum terbenuknya KPK sekarang. Jika kita lihat dari
sejarahnya, maka konsep suatu lembaga atau badan khusus yang menangani
pemberantasan tindak pidana korupsi telah digagas sejak zaman Orde Lama. Bahkan
di masa awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia, masalah penanggulangan tindak
pidana korupsi dan usaha-usaha menciptakan pemerintahan yang bebas korupsi,
kolusi dan nepotisme sudah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.
Adapun sejarah mengenai lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia dapat dibagi menjadi 3 masa, yaitu:
1. Masa
Orde Lama
Di masa Orde
Lama, tercatat ada dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama
adalah pada masa Kabinet Djuanda, yang mana melalui Undang-Undang Keadaan
Bahaya dibentuklah suatu panitia yang disebut Panitia Retooling Aparatur Negara
(PARAN) yang saat itu dipimpin oleh A.H Nasution dan dibantu oleh 2 anggota,
yaitu Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Panitia inilah para aparatur
negara harus menyerahkan laporan atas pertanyaan-pertanyaan dalam form yang diberikan oleh panitia. Tapi
seiring berjalannya waktu, panitia ini tidak dapat bertahan lama karena adanya deadlock. Hal ini terutama diakibatkan
keengganan para aparatur negara untuk memberikan laporan pertanggungjawaban
kepada PARAN dengan alasan bahwa mereka hanya bertanggungjawab langsung kepada
Presiden.
Setelah
dibubarkannya PARAN, maka pada tahun 1963 Presiden Soekarno menunjuk kembali
A.H Nasution dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo untuk membentuk suatu operasi
pemberantasan tindak pidana korupsi baru yang dinamakan Operasi Budhi. Adapun
tugas dari operasi ini adalah lebih berat daripada PARAN, dimana Operasi Budhi
wajib menyeret langsung aparatur negara yang terindikasi korupsi langsung ke
muka Pengadilan. Adapun sasaran utama dari Operasi ini adalah BUMN dan lembaga
pemerintahan sendiri. Tetapi kemudian, Operasi ini kembali tidak berjalan lama
dikarenakan adanya intrik-intrik politik yang cenderung melindungi koruptor.
Kemudian, Soebandrio mengumumkan langsung dibubarkannya Operasi Budhi dan
diganti oleh KONTRAR (Komando Tertinggi
Retooling Aparat Revolusi) yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno dan
dibantu oleh Soebandrio dan Let.Jend. Ahmad Yani. Pada masa berikutnya, banyak
kalangan yang menilai bahwa seiring terbentuknya lembaga anti korupsi tersebut,
maka proses pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia cenderung
melambat, bahkan terkesan stagnan atau jalan di tempat.
2. Masa
Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui Pidato Kenegaraan
tanggal 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto terang-terang mengkritik Orde Lama
atas ketidakmampuannya untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.
Pidato itu semakin membesarkan harapan akan terberantasnya tindak pidana
korupsi di Indonesia seiring dengan gagasan dibentuknya suatu Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK) yang diketuai langsung oleh Jaksa Agung. Namun ketidak seriusan
Tim ini mengakibatkan Presiden Soeharto kemudian membubarkannya dan membentuk
Komite Empat yang beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan
berwibawa seperti Prof. Johanes, I.J Kasimo, Mr. Wilopo, dan A. Tjokroaminoto.
Adapun sasaran utama dari komite ini adalah membersihkan lembaga pemerintah
seperti Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina
dan lain-lain. Tetapi kemudian komite ini pun membentur tembok yang keras, yaitu
keengganan pemerintah untuk merespon temuan-temuan yang mengarah pada indikasi
korupsi. Terutama pada kasus temuan indikasi korupsi yang dilakukan oleh Dirut
Pertamina. Akibat dari benturan-benturan itu, seiring berjalannya waktu komisi
ini pun menghilang dari peredaran dan semakin berjayalah koruptor yang ada di
Indonesia di masa Orde Baru.
3. Masa
Era Reformasi
Pada Era Reformasi,
usaha pemberantasan tindak pidana korupsi dimulai oleh Presiden B.J Habibie
dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sebagai
lanjutannya, dibentuklah komisi-komisi baru dan badan-badan baru seperti Komisi
Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden
berikutnya, yaitu Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian membentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Tetapi kemudian TGPTPK dibubarkan melalui
putusan Mahkamah Agung yang menganggap TGPTPK adalah bertentangan dengan
Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999. KPKPN dalam pekembangan berikutnya dilebur
dan dimasukkan ke dalam lembaga baru yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
sebagai satu-satunya lembaga pemberantasan anti Korupsi yang masih eksis dan
diakui oleh Undang-Undang.
Adapun sebelumnya telah dijelaskan bahwa KPK
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya,
Undang-Undang tersebut adalah menjadi dasar hukum yang menjamin sahnya lembaga
tersebut dan memuat tugas serta tanggung jawab dari KPK. Jika kita dapat
melihat sedikit mengenai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, kita dapat
menemukan pasal-pasal yang memuat jelas mengenai KPK, wewenang dan tanggung
jawab serta fungsinya. Dalam pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002,
dikatakan bahwa KPK adalah lembaga negara yang bersifat independen dan bebas
dari pengaruh kekuasaan manapun yang bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam penjelasan Pasal
3 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang
dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota Komisi secara individual
baik dari pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, pihak-pihak lain yang terkait
dengan perkara tindak pidana korupsi atau situasi apapun dengan alasan apapun.
Lalu, apa pengertian dari
Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi itu sendiri? Pasal 1 ayat (3) mengatakan
bahwa Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian tindakan untuk
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya kordinasi, supervisi,
monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Adapun Tugas dari KPK adalah
terdapat 5 tugas seperti dijelaskan dalam pasal 6 Undang-Undang, yaitu:
a. Koordinasi
dengan instansi yang berwenang dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam
penjelasannya, yang dimaksud dengan “instansi berwenang” adalah BPK, Badan
Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, KPKPN, inspektorat pada Departemen, atau
Lembaga Pemerintah Non Departemen.
b. Supervisi
terhadap terhadap instansi yang berwenang dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi.
c. Melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
d. Melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi
e. Melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Poin
berikutnya adalah mengenai wewenang dari KPK itu sendiri. Dalam
perkembangannya, sering sekali terjadi benturan wewenang antara KPK dan lembaga
penyidik lainnya seperti Kejaksaan dan Kepolisian. Adapun wewenang KPK adalah
tercantum dalam pasal 7, 8, 11, 12, 13, dan pasal 14 Undang-Undang 30/2002.
Secara ringkas dan jelasnya, wewenang dari KPK adalah:
a. Mengkoordinasikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b. Menetapkan
sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. Meminta
informasi terkait kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi
yang terkait;
d. Melaksanakan
dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan
kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
e. Meminta
laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi;
f. Melakukan
pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas
dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan
instansi yang dalam melaksanakan
pelayanan publik.
g. KPK
juga berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan.
h. Berwenang
untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi
yang :
·
Melibatkan aparat
penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara.
·
Mendapat perhatian yang
meresahkan masyarakat; dan/ atau
·
Menyangkut kerugian
negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah);
i.
Melakukan penyadapan
dan merekam pembicaraan;
j.
Memerintahkan kepada
insatansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
k. Meminta
keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan
tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
l.
Memerintahkan kepada
bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil
dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
m. Memerintahkan
kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka
dari jabatannya;
n. Meminta
data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang
terkait;
o. Menghentikan
sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian
lainnya atau pencabutan sementara perijinan, lisensi serta konsesi yang
dialkukan atau dimiliki oleh tersangka;
p. Meminta
bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk
melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
q. Meminta
bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi
yangs edang ditangani;
r.
Melakukan pendaftaran
dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;
s. Menerima
laporan dan menetapkan status gratifikasi;
t.
Menyelenggarakan
program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan;
u. Merancang
dan mendorong terlaksananya program
sosialaisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;
v. Melakukan
kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum
w. Melakukan
kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberanatasan tindak pidana
korupsi;
x. Melakukan
pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan
pemerintah;
y. Memberikan
saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan
jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi itu
berpotensi korupsi;
z. Melaporkan
kepada Presiden Republik Indonesia, DPR-RI, dan BPK, jika saran KPK mengenai
usulan perubahan sistem administrasi itu tidak dihiraukan;
-
Sekilas
tentang Kepolisian Republik Indonesia
Kepolisian
Republik Indonesia adalah salah satu lembaga negara yang berhak untuk melakukan
penyelidikian dan penyidikan perkara pidana, baik yang terdapat dalam KUHP dan
KUHAP, serta peraturan perundang-undangan khusus lainnya. Konkritnya, terdapat
3 lembaga di republik ini yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana, yaitu Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Dari
ketiga lembaga penegak hukum di atas, hanya POLRI yang menurut undang-undang
tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan. Adapun Kejaksaan memiliki
wewenang untuk melakukan penuntutan berdasarkan pasal 13 KUHAP, sedangkan KPK
berhak melakukan penuntutan di bidang tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal
11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Jika kita
menelisik sejarahnya, POLRI adalah lembaga paling tua dibanding 3 lembaga hukum
lainnya. POLRI telah dibentuk sejak 65 tahun silam, meskipun pada awal
pembentukannya hingga tahun 2000 POLRI bukanlah suatu unit yang berjalan
sendiri melainkan merupakan bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesi
(ABRI). Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, POLRI merupakan suatu kesatuan yang
dianggap sebagai angkatan ke 4 setelah Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan
Angkatan Laut di dalam tubuh ABRI. Sepanjang 65 tahun masa baktinya terhadap
Republik Indonesia, POLRI telah berperan serta cukup banyak dalam upaya-upaya
penegakan hukum dan penyelesaian-penyelesaian perkara pidana di dalam negeri
dan telah turut serta pula dalam upaya-upaya penegakan hukum Internasional.
Adapun dasar
hukum yang menjadi pegangan untuk meunjukkan bahwa POLRI adalah lembaga negara
yang sah adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Adapun dalam undang-undang tersebut terkandung
Fungsi, serta tugas dan wewenang dar POLRI itu sendiri.
Mengenai fungsi
dari POLRI, terkandung dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Pasal
itu berbunyi bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan
negara di bidang pemeliharaan ketertiban dan kemanan masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyrakat.Kemudian pasal
14 menjabarkan fungsi kepolisian itu menjadi beberapa butir, yaitu:
a. Melaksanakan
pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap masyarakat dan
pemerintah sesuai kebutuhan;
b. Menyelenggarakan
segala kegiatan demi menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas
di jalan;
c. Membina
masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat, serta ketaatan masyarakat terhadap hukum dan peraturat
perundang-undangan;
d. Turut
serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. Memelihara
ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. Melakukan
koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus,
penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. Melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesiau dengan hukum
acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. Menyelenggarakan
identifikasi kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk
kepentingan tugas kepolisian;
i.
Melindungi keselamatan jiwa raga, harta
benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana
termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia;
j.
Melayani kepentingan warga masyarakat
untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. Memberikan
pelayanan kepada masyarakat sesuia dengan kepentingannya dalam lingkup tugas
kepolisian; serta
l.
Melaksanakan tugas lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Adapun hal-hal mengenai wewenang
dari POLRI adalah dijabarkan dalam pasal 15-16 UU No. 2 Tahun 2002. Menyangkut
tugas POLRI, maka POLRI memiliki wewenang untuk :
a. Menerima
laporan dan/atau pengaduan;
b. Membantu
menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban
umum;
c. Mencegah
dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. Mangawasi
aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan
bangsa;
e. Mengeluarkan
peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
f. Melaksanakan
pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka
pencegahan;
g. Melakukan
tindakan pertama di tempat kejadian;
h. Mengambil
sidik jari serta informasi lainnya dan memotret seseorang;
i.
Mencari keterangan dan barang bukti;
j.
Menyelenggarakan Pusat Informasi
Kriminal Nasional;
k. Mengeluarkan
surat izin dan/atau surat keternagan yang diperlukan dalam rangka pelayanan
masyarakat;
l.
Memberikan bantuan pengamanan dalam
sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan insatansi lain, dan kegiatan masyarakat;
m. Menerima
dan menyimpuan barang temuan untuk sementara waktu;
n. Memberikan
izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;
o. Menyelenggarakan
registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
p. Memberikan
surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
q. Menrima
pemberitahuan tentang kegiatan politik;
r.
Memberikan izin dan melakukan pengawasan
senjata api, bahan peledak dan senjata tajam;
s. Memberikan
izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa
pengamanan;
t.
Memberikan petunjuk, mendidik, dan
melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang
teknis kepolisian;
u. Melakukan
kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas
kejahatan internasional;
v. Melakukan
pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah
Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
w. Mewakili
pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian Internasional;
x. Melaksanakan
kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian;
y. Melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
z. Melerang
setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk
kepentingan penyelidikan;
aa. Membawa
dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
bb. Menyuruh
berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal
diri;
cc. Melakukan
pemeriksaan dan penyitaan surat;
dd. Memanggil
orang untuk didengar atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
ee. Mendatangkan
orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
ff. Mengadakan
penghentian penyidikan;
gg. Menyerahkan
berkas perkara kepada penuntut umum;
hh. Mengajukan
permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat
pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau
menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
ii. Memberi
petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta
menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan pada
penuntut umum; dan
jj. Melakukan
tindakan lain yang menurut hukum bertanggung jawab.
-
Konflik kewenangan
antara KPK dan POLRI
Di atas telah
dijelaskan bahwa KPK dan POLRI adalah dua lembaga negara yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara tindak
pidana. Jika kita perhatikan lagi poin per poin yang menjadi kewenangan KPK dan
POLRI, maka kita akan menemukan banyak sekali terjadi kesamaan wewenang antara
kedua institusi penegak hukum tersebut. Kedua instansi sama-sama berwenang
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, serta sama-sama berwenang
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang dicurigai menjadi tersangka dalam
suatu kasus tindak pidana.
Berbicara
mengenai KPK dan POLRI, kita tentu sering mendengar terjadinya konflik antara
kedua institusi negara tersebut. Mulai
dari adanya konflik kepentingan dalam pemeriksaan mantan Ketua KPK periode
2007-2009 (Antasari Azhar), adanya usaha-usaha untuk mengkriminalitaskan KPK
dalam kasus yang menyangkut 2 wakil pimpinanya (Bibit Samad Riyanto dan Chandra
Hamza), kemudian dilanjutkan lagi dengan kasus “Cicak vs Buaya” yang
didengungkan oleh Brigjend Pol. Susno Duadji pada medio 2010 seilam dalam kasus
korupsi yang menyangkut Anggoro, hingga kasus terkini mengenai usaha POLRI
untuk menghalang-halangi usaha KPK untuk melakukan tindakan penegakan hukum dan
pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menghalangi investigasi kasus
Korupsi Pengadaan Simulator SIM di tubuh Korlantas Polri yang kemungkinan besar melibatkan petinggi-petinggi POLRI.
Masih kita ingat
dengan segar, pada awal September silam, ketika POLRI dengan segala kemampuan
dan daya usahanya berusaha menghalangi penyelidikan yang dilakukan KPK di
markasnya dengan menahan barang bukti yang diminta oleh KPK serta turut pula
menahan penyidik KPK yang turut serta dalam penggeledahan di markas POLRI
tersebut. Menurut informasi media, penyidik KPK tertahan hampir 24 jam di dalam
markas KPK yang mengakibatkan timbulnya tanda tanya di dalam masyarakat, apa
yang sebenarnya terjadi antara penyidik KPK
dan POLRI di dalam Mabes Polri saat itu? Masyarakat langsung menyadari
telah terjadi konflik (lagi) di antara 2 lembaga hukum yang sebenarnya
diharapkan dapat saling bersinergi untuk menegakkan hukum dan memberantas
tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi di Indonesia. Berdasarkan
keterangan dari Pihak POLRI kepada media, dikatakan bahwa sebenarnya POLRI
tidak ingin menghalangi kinerja KPK. POLRI hanya ingin mempertanyakan
kewenangan KPK dalam memeriksa Mabes POLRI dan membawa barang serta arsip milik
Mabes POLRI, karena KPK tidak dapat menunjukkan surat izin dan surat kuasa
untuk melakukan pemeriksaan di tubuh POLRI dari Kapolri.
Tetapi kemudian,
hal ini dapat terselesaikan berkat diberikannya izin oleh Kapolri, Irjen Pol
Timur Pradopo kepada KPK untuk membawa barang bukti yang ditemukan oleh KPK
diikuti oleh komitmen dari KPK untuk mau bersinergi dan bekerjasama dengan
POLRI dalam hal penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi di dalam lingkup
adminsitratif POLRI. POLRI, dalam keterangannya berdalih bahwa mereka telah
terlebih dahulu menemukan fakta bahwa ada indikasi korupsi dalam pengadaan
Simulator SIM di tubuh Korlantas POLRI dan mengklaim telah terlebih dahulu
melakukan penyidikan sebelum KPK. POLRI mendasarkan keterangannya pada MoU yang
ditandatangani oleh Pimpinan KPK dan Kapolri. Dalam MoU itu disebutkan bahwa jika
POLRI telah terlebih dahulu menangani suatu penyidikan kasus tindak pidana
korupsi, maka KPK tidak boleh turut serta dan mencampuri penyidikan yang
dilakukan oleh POLRI. Secara langsung, MoU ini mengkerdilkan kewenangan KPK,
terutama kewenangan KPK untuk melakukan supervisi, yaitu pengawasan,
pemantauan, penelitian dan penelaahan terhadap penyidikan tindak pidana korupsi
yang secara langsung pula menutup kemungkinan bagi KPK untuk mengambil alih
penanganan kasus Korupsi dari POLRI.
Ketika usaha
untuk menghalangi KPK membawa barang bukti dianggap gagal, maka POLRI
menyiapkan skenario lain dalam usaha untuk melemahkan posisi KPK, yaitu dengan
menarik seluruh perwiranya yang bertugas sebagai penyidik di KPK dengan alasan
sebagai usaha pembinaan karir terhadap perwira-perwiranya tersebut. Selain itu,
POLRI juga berusaha menarik salah satu anggotanya yaitu KomPol. Novel Baswedan
dengan alasan guna kepentingan penyelidikan dan penyidikan kasus pidana yang
diduga dilakukannya ketika masih menjabat sebagai Kapolda Bengkulu pada periode
2000 silam. Dengan adanya usaha-usaha untuk melemahkan KPK ini, maka semakin
keruh lah konflik antara KPK dan POLRI yang justru mengakibatkan turunnya
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap POLRI dan malah meningkatkan dukungan masyarakat
terhadap KPK.
Menanggapi isu
yang beredar di masyarakat dan guna mencegah semakin berkembangnya isu ke arah
tidak benar dan supaya konflik antara 2 institusi pemberantas korupsi itu tidak
semakin memanas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun merasa perlu untuk turun
tangan dan memberikan sikap tegas terhadap konflik antara KPK dan POLRI. Dalam
Pidatonya pada tanggal 8 Oktober 2012 silam, intinya presiden mengemukakan 5
hal penting yaitu:
a. Presiden
meminta penanganan kasus korupsi Simulator SIM harus diberikan kepada KPK
sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Pembentukan KPK;
b. Presiden
merasa bahwa penarikan perwira POLRI sebagai penyidik di KPK adalah tidak tepat
dilakukan saat ini dan menyatakan bahwa POLRI tidak berhak menarik anggotanya secara
mendadak dan sepihak dari KPK;
c. Presiden
memandang bahwa penyidikan yang dilakukan POLRI terhadap Kompol Novel Baswedan
adalah tidak tepat dan meminta POLRI untuk menghentikan penyidikan itu untuk
sementara waktu;
d. Adanya
wacana untuk merevisi UU No. 30 Tahun 2002 adalah tidak tepat untuk saat ini.
e. Presiden
akan membentuk peraturan Pemerintah sebagai peraturan yang mengatur mengenai
kewenangan KPK dan POLRI dalam rangka mengindari terjadinya konflik yang sama
di kemudian hari.
Berbicara
mengenai konflik kewenangan antara KPK dan POLRI, sebenarnya tidak harus
terjadi dan tidak akan terjadi jika kedua instansi sama-sama berkomitmen untuk
menyelamatkan negeri dan tidak mengedepankan kepentingan pribadi daripada
kepentingan nasional. Selain itu, telah terdapat pula 2 buah payung hukum yang
berbentuk undang-undang yang dengan jelas dan gamblang memberikan kewenangan
dan fungsi serta tanggung jawab dari masing-masing instansi dalam peran
sertanya memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Pendapat penulis,
lembaga yang seharusnya berwenang menangani kasus korupsi pengadaan Simulator
SIM di tubuh Polri adalah KPK. Penulis melandaskan argumennya pada 2 alasan,
yaitu:
a. Alasan
Yuridis
Dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 termuat jelas salah satu kewenangan KPK yaitu
melakukan supervisi, yaitu usaha untuk meneliti, menelaah, mengawasi bahkan
mengambil alih penanganan suatu tindak pidana korupsi dari Kepolisian dan
Kejaksaan. Hal ini jelas menunjukkan bahwa KPK lebih superior dibandingkan
kedua institusi lainny dan sehrusnya menjadi yang terdepan dalam usaha
pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu, di dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 juga terdapat klausula bahwa KPK adalah berhak melakukan
penyidikan terhadap kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak huku, aparat
negara dan pihak lain yang terkait dengan kasus korupsi yang melibatkan aparat
pemerintah, serta merugikan negara minimal Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah).
b. Alasan
etika
Penulis
memandang bahwa adalah tidak etis ketika POLRI diminta untuk menyidik perkara
korupsi yang melibatkan perwira-perwiranya. Adanya jargon “jeruk makan jeruk’
dalam institusi POLRI semakin menambah skeptisme penulis terhadap kesriusan
POLRI dalam menangani kasus korupsi Simulator SIM.